Michelle Pfeiffer memang cemerlang. Kecantikannya seperti tak pernah dicuri umur yang sudah 43 tahun. Wajahnya tak berhias jerawat, noda hitam, atau kerut keriput. Pfeiffer tak kalah rupawan dibandingkan dengan gadis yang sepuluh tahun lebih muda.
Namun ada yang ganjil. Film Pfeiffer terbaru, I am Sam, disebut menenggelamkan sosoknya sebagai bintang yang terkenal piawai memainkan seribu satu emosi. Dahinya tak sedikit pun berkerut. Senyumnya tak pernah diiringi garis-garis kerutan di lingkar mata dan mulut. "Bahkan wajahnya tetap datar saat sedih, marah, atau menangis," tulis Susan Reinhardt baru-baru ini dalam Citizen-Time News Room.
Patut dicatat, Pfeiffer tak melupakan segenap jurus akting yang dia kuasai. Sang artis yang namanya menjulang lewat film Batman Return ini hanya terkena imbas sementara terapi racun Botox (botulinum toxin). Kecanggihan akting Pfeiffer pasti pulih begitu efek senyawa racun ini mereda.
Lalu apa gerangan racun yang memikat Pfeiffer ini? Sesuai dengan namanya, Botox adalah sari pati racun bakteri clostridium botulinum, yang biasa mencemari makanan kemasan kaleng. Dalam dosis besar, sang racun sanggup melumpuhkan otot pencernaan dan pernapasan. Apa boleh buat, kejang perut, sesak napas, bahkan kematian mendadak, bisa masuk dalam risiko penggunaan Botox.
Tapi, dalam porsi kurang dari 0,1 cc, Botox adalah dewa penolong. Bukannya melumpuhkan, racun ini cuma melemaskan otot yang berkontraksi kelewat tegang. Itulah sebabnya, Botox selama satu dekade terakhir digunakan sebagai terapi kelainan saraf.
Aktor Ferry Irawan, misalnya, pernah menjalani terapi Botox untuk melemaskan saraf lehernya yang terlalu tegang, nyeri, dan sering bergerak tak terkendali (TEMPO, 28 Mei 2001). Botox juga bisa digunakan untuk menolong mereka yang badannya selalu basah berlimpah keringat. Caranya, racun disuntikkan di area saraf yang menjadi komandan produksi cairan keringat.
Baru tiga tahun terakhir ini, para dokter mencoba Botox untuk melemaskan ketegangan otot muka yang menjadi pangkal kulit yang berkerut. Uji coba cukup sukses dan menunjukkan terapi ini aman dari efek samping berbahaya. Akhirnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) resmi merestui Botox sebagai obat antikeriput, medio April lalu. Langsung saja, ketenaran racun ini melejit ke seluruh dunia yang terobsesi penampilan segar dan awet muda.
Ongkos yang mahal, US$ 200 hingga 1.000 (Rp 1,84 juta hingga 9,2 juta) per seri suntikan, tak menjadi hambatan. Serial suntikan itu pun tak cukup sekali tetapi mesti diulang 3-5 kali setahun karena khasiat Botox hanya bertahan 2-4 bulan. Produsen Botox, Allergan Incorporated, tak sedikit pun merisaukan ongkos yang tak terjangkau orang kebanyakan ini. Maklum, puluhan juta manusia yang sadar akan penampilan berkilau rela memburu Botox betapapun mahalnya.
Namun, tunggu dulu, keharuman Botox sedikit terganggu ketika kisah Pfeiffer itu muncul. Apalagi ternyata bukan cuma dia seorang yang jadi korban. Sebelumnya, Cliff Richard, penyanyi pop Inggris berumur 60 tahun, membeberkan pengalaman ber-Botox kepada stasiun televisi BBC.
Richard mengaku melakukan serial terapi Botox untuk menyetrika dahinya yang kusut. Lumayan sukses. Sebagian keriput wajahnya terkikis. "Tentu saya tak ingin bersaing dengan pemuda 18 tahun. Tampak seperti lelaki 40-an sudah cukup bagus," katanya. Tapi, ada bayarannya, dua alis plus kelopak mata Richard terseret turun dari posisi normal.
Kisah serupa juga menimpa Rolling Stones, yang tahun ini merayakan ulang tahun ke-40 dengan tur ke berbagai negara. Demi penampilan gemilang, personel grup musik Rolling Stones—antara lain Mick Jagger, Bill Wyman, dan Keith Richard—ramai-ramai melakukan suntik Botox. Keriput memang lenyap. Cuma, mata serta alis Jagger dan kawan-kawan yang sudah 60-an tahun itu seperti menggantung tanpa daya. Kalangan media pun mengolok-olok acara musisi gaek ini sebagai "The Botox Tour".
Belakangan, berita efek samping Botox kian menyebar. Dari Amerika, beberapa pasien dilaporkan terus meneteskan air liur setelah racun Botox disuntikkan di sekitar mulut. Dari Singapura, muncul keluhan pasien-pasien yang tak dapat menggerakkan bola mata beberapa minggu usai terapi Botox.
Bagaimana dengan Indonesia? Botox untuk keperluan kosmetik sudah digunakan dokter lokal sekitar dua tahun terakhir. Beberapa klinik di Jakarta, misalnya Jakarta Skin Center (JEC), RS Bina Estetika, dan Klinik Ronny Handoko, melayani terapi Botox dengan tarif Rp 2 juta untuk satu ampul suntikan. Klinik Obagy dan Melly Derma, keduanya di Surabaya, juga menyediakan layanan serupa dengan ongkos yang tak jauh berbeda.
Sejauh ini memang belum ada laporan resmi pasien yang menuai dampak buruk Botox. Tapi ketiadaan laporan ini tak bisa jadi jaminan. Maklum, "Sistem pengawasan dan pendataan kita tidak memadai," kata Edwin Djuanda, ahli kulit dari JEC.
Bukan mustahil, menurut Edwin, salon-salon dengan tenaga yang tak terlatih juga ikut-ikutan menyediakan jasa terapi Botox. Padahal, menyuntikkan cairan Botox, yang per ampul suntikan Rp 2 juta itu, bukanlah kerja gampang. Suntikan harus tepat tertuju pada otot sasaran dengan dosis yang tak boleh meleset.
Sedikit kecerobohan menyuntik bakal mengacaukan otot-otot yang bukan sasaran. Otot penopang alis dan mata, misalnya, jadi lemas terkena rembesan cairan Botox hingga mata pun turun dari posisi normal. Bisa juga otot pengendali cairan ludah yang dol, kehilangan daya, gara-gara kena aliran racun x yang disuntikkan di sekitar mulut. Alih-alih cantik, air liur si pasien pun menetes tanpa henti.
Jika mau aman, pilihlah terapi di klinik yang bereputasi. Biasanya, dokter di klinik semacam ini tidak serta-merta meluluskan keinginan pasien untuk ber-Botox. Kalau tidak perlu-perlu amat, suntikan racun Botox tak akan dilakukan. Sidik Setiamiharja, ahli bedah kosmetik dari RS Bina Estetika, misalnya, lebih suka memilih teknik bedah plastik untuk membenahi wajah pasien. Pertimbangannya, teknik bedah relatif bebas dari pasokan zat kimia beracun meskipun butuh tindakan operasi yang lebih rumit.
Sementara itu, para dokter di JEC bersikap lebih toleran. Setiap hari, klinik ini melayani 2-6 pasien yang membutuhkan Botox. Namun ada rambu-rambu yang harus ditaati. Seperti dituturkan Edwin, JEC tidak membolehkan suntikan Botox di otot sekitar mulut. Soalnya, ini daerah yang rawan. Racun dengan mudah mengalir mengacaukan otot-otot sekitar.
Kalaupun suntikan Botox tetap dilakukan, Edwin memilih dosis yang ekstrakecil. Pasti, hasilnya tidak maksimal. Kerutan tak lenyap dan keriput tetap bersisa. Tapi Edwin berkomentar, "Bukankah kita tak mau secantik manekin yang dingin?"
Mardiyah Chamim